Aku lari dari rumah karena mencintai seorang
lelaki. Bapak tentu sangat kecewa. Aku memahami perasaannya. Tapi aku juga tak ingin selamanya hidup dalam
bayang-bayang Bapak. Aku menghormati dan menyayanginya. Beliau satu-satunya
yang tersisa dalam hidupku, dan aku telah menyiakannya. Ibu, tentu kau gelisah
dalam kubur, melihat anak perempuanmu tumbuh sebagai gadis ‘mrusal‘ yang tak pantas kau
banggakan. Tapi nasi sudah menjadi bubur, apa yang aku lakukan, sungguh aku
menyesalinya. Tetapi itu tak cukup. Aku harus bertanggungjawab terhadap apa
yang telah aku lakukan. Bukan saja kepada diriku sendiri, kepada Bapak, tetapi
juga kepada janin yang sekarang tengah menunggu kelahirannya. Memang tak pernah
kuharapkan, tapi harus kujalani. Delapan bulan yang lalu, aku harus memilih
pisau, tali, atau obat serangga untuk mengakhiri semuanya. Tapi aku tak bisa.
Aku membayangkan betapa sakitnya saat meregang nyawa. Belum lagi siksa kubur
yang akan menderaku menunggu saat kiamat. Dan ketika kiamat tiba, tentu tak
akan ada tawaran surga untukku yang telah berzina, membunuh diriku sendiri dan
juga janin yang berhak hidup di dunia. Astaghfirullah….
Pensil sketsa di tanganku terlepas saat tiba-tiba
perutku terasa mulas. Mulas yang tak biasanya. Kurasa sudah saatnya anakku
lahir. Dengan tergesa-gesa aku memasukkan beberapa
potong baju ke dalam travel bag-ku.
Beberapa baju bayi yang baru tadi pagi aku beli dari hasil sketsaku. Ku lihat
jam dinding menunjukkan pukul 11.45 malam. “Ah... sudah terlalu larut
membangunkan Aida”, pikirku. Aku hanya sempat menulis memo: ”Aida, aku ke Rumah
Sakit….”.Bergegas aku keluar dari rumah. Tak mungkin mencari angkutan umum
tengah malam begini. Satu-satunya transport yang ku anggap aman dan cepat
adalah taksi.
Kulihat dari spion, tiba-tiba jalan dibelakangku
begitu ramai. Beberapa motor dan mobil beriringan menguntitku.
“Masya Allah, Polisi!”, pekikku tertahan. Aku kalut, tapi mencoba kepala
dingin. Dua menit lagi aku sampai. Sirine petugas terus meraung dan mengejarku
masuk ke rumah sakit. Aku turun dan membiarkan polisi-2 itu mengikutiku. Aku
tak tahan lagi. Bayiku juga. Beberapa perawat jaga memapahku menaiki brankart.
Yang lain menahan polisi untuk tidak memasuki ruang periksa. “Mbak… saya sudah
nggak tahan…”, kataku terbata-bata. Nafasku tersengal-sengal. Rasa sakit itu
mulai menjalar ke semua bagian tubuhku. Keringat dingin berhaburan melewati
seluruh pori-pori kulitku. Dokter jaga memutuskan untuk tindakan persalinan.
Tak mungkin menunggu sampai ke kamar bersalin, katanya. Aku menahan nafas. Aku
pasrah. Aku ingat ibu, aku ingat Bapak, aku ingat dosa-dosaku. Tangisan anakku
memenuhi ruangan. Tangisku ikut meledak. “Anaknya perempuan bu”, kata Perawat yang
membawa anakku untuk dibersihkan. Aku tak sempat menjawab. Beberapa orang asing
sudah memasuki ruang tempat aku bersalin. “Marlina ?!”, sapa seorang lelaki
yang terkejut karena mengenaliku. Aku tak kalah terkejut. “Dika ?!”, teriakku
hampir tak bersuara. Lelaki berseragam sopir taksi itu mendekatiku, menyibak
kerumunan polisi dan perawat yang ingin tahu apa yang terjadi. Aku sesenggukan,
tak bisa menahan tangis. Dika memelukku erat. “Taksi itu punyamu ?,tanyaku
diantara isak tangis. Kurasakan Dika mengangguk. “Dia.. dia.. anakmu, Dika”,
kataku terbata-bata. Dika menghapus air matanya, merenggangkan pelukannya dan
menatapku lekat. “Aku mencarimu Marlina, mengapa kau menghilang ?”, Dika
mencecarku pertanyaan. “Bapak, suami ibu Marlina ? Anaknya mau diadzankan, pak
?” Tanya perawat membawa anakku yang telah dibersihkan. Dika menerima bayi kami
dan menggendongnya. Kulihat dari sudut mataku dia mencium keningnya, kemudian
kudengar dia mulai mengadzankan, meng-qomatkan, dan melupakan pertanyaannya
padaku. Mungkin suatu saat kami akan membicarakannya lagi. Tapi tidak sekarang.
Ya Allah biarlah kami merasakan sejenak kebahagiaan ini, dan biarkan
polisi-polisi itu kembali ke tempat tugasnya. Dika, aku bahagia. Bapak, aku
ingin pulang, dan memohon maafmu.
19 April 2007:
dini hari
Tidak ada komentar:
Posting Komentar