DALAM PELARIAN



Aku lari dari rumah karena mencintai seorang lelaki. Bapak tentu sangat kecewa. Aku memahami perasaannya. Tapi aku  juga tak ingin selamanya hidup dalam bayang-bayang Bapak. Aku menghormati dan menyayanginya. Beliau satu-satunya yang tersisa dalam hidupku, dan aku telah menyiakannya. Ibu, tentu kau gelisah dalam kubur, melihat anak perempuanmu tumbuh sebagai gadis ‘mrusal‘ yang tak pantas kau banggakan. Tapi nasi sudah menjadi bubur, apa yang aku lakukan, sungguh aku menyesalinya. Tetapi itu tak cukup. Aku harus bertanggungjawab terhadap apa yang telah aku lakukan. Bukan saja kepada diriku sendiri, kepada Bapak, tetapi juga kepada janin yang sekarang tengah menunggu kelahirannya. Memang tak pernah kuharapkan, tapi harus kujalani. Delapan bulan yang lalu, aku harus memilih pisau, tali, atau obat serangga untuk mengakhiri semuanya. Tapi aku tak bisa. Aku membayangkan betapa sakitnya saat meregang nyawa. Belum lagi siksa kubur yang akan menderaku menunggu saat kiamat. Dan ketika kiamat tiba, tentu tak akan ada tawaran surga untukku yang telah berzina, membunuh diriku sendiri dan juga janin yang berhak hidup di dunia. Astaghfirullah….

Pensil sketsa di tanganku terlepas saat tiba-tiba perutku terasa mulas. Mulas yang tak biasanya. Kurasa sudah saatnya anakku lahir. Dengan tergesa-gesa aku memasukkan beberapa potong baju ke dalam travel bag-ku. Beberapa baju bayi yang baru tadi pagi aku beli dari hasil sketsaku. Ku lihat jam dinding menunjukkan pukul 11.45 malam. “Ah... sudah terlalu larut membangunkan Aida”, pikirku. Aku hanya sempat menulis memo: ”Aida, aku ke Rumah Sakit….”.Bergegas aku keluar dari rumah. Tak mungkin mencari angkutan umum tengah malam begini. Satu-satunya transport yang ku anggap aman dan cepat adalah taksi. Lima menit sudah tak ada yang lewat. Janin di dalam perutku rupanya tak mau kompromi. Tiap sepuluh menit dia mengirim sinyal kepadaku, tiap sepuluh menit itu pula perutku terasa mulas. Dan aku mulai panik. Kakiku kulangkahkan menyusuri jalan raya. Satu dua taksi melewatiku dalam keadaan terisi penumpang. Sepuluh meter di depanku, sebuah taksi kulihat tengah berhenti. Aku mempercepat langkah sebisaku, sambil menahan rasa sakit. Taksi kosong, bahkan sopirnya tak ada. Aku celingukan mencari si empunya taksi. Sementara rasa sakit di perutku semakin cepat terasa. Aku nekat. ‘Ya Allah jika ini jalan yang Engkau tunjukkan, jika ini adalah yang terbaik bagiku, maka yang terjadi, terjadilah ‘, kubuka pintu taksi. ‘Ya Allah, aku bukan pencuri ‘, runtukku dalam hati. Dan Allah telah menunjukkan jalanNya padaku. Kunci kontak taksi masih tergantung pada stir. Dasar sopir ceroboh! Pelan tapi pasti, kuhidupkan mesin taksi. Tak menunggu lama, aku segera bergerak. Hand rem, pedal kopling, gigi satu, dan… gas. Aku tak mau melahirkan di jalan. Gigi dua, tiga dan empat, membuat laju taksi yang kukendarai semakin kencang. Beberapa lampu merah ku abaikan. Aku berlari pada kecepatan 100 km/jam. Untung jalanan pukul 12.05 malam ini lengang. Lima menit lagi aku sampai rumah sakit, entah bagaimana aku mengembalikan taksi ini aku tak perduli lagi.

Kulihat dari spion, tiba-tiba jalan dibelakangku begitu ramai. Beberapa motor dan mobil beriringan menguntitku. “Masya Allah, Polisi!”, pekikku tertahan. Aku kalut, tapi mencoba kepala dingin. Dua menit lagi aku sampai. Sirine petugas terus meraung dan mengejarku masuk ke rumah sakit. Aku turun dan membiarkan polisi-2 itu mengikutiku. Aku tak tahan lagi. Bayiku juga. Beberapa perawat jaga memapahku menaiki brankart. Yang lain menahan polisi untuk tidak memasuki ruang periksa. “Mbak… saya sudah nggak tahan…”, kataku terbata-bata. Nafasku tersengal-sengal. Rasa sakit itu mulai menjalar ke semua bagian tubuhku. Keringat dingin berhaburan melewati seluruh pori-pori kulitku. Dokter jaga memutuskan untuk tindakan persalinan. Tak mungkin menunggu sampai ke kamar bersalin, katanya. Aku menahan nafas. Aku pasrah. Aku ingat ibu, aku ingat Bapak, aku ingat dosa-dosaku. Tangisan anakku memenuhi ruangan. Tangisku ikut meledak. “Anaknya perempuan bu”, kata Perawat yang membawa anakku untuk dibersihkan. Aku tak sempat menjawab. Beberapa orang asing sudah memasuki ruang tempat aku bersalin. “Marlina ?!”, sapa seorang lelaki yang terkejut karena mengenaliku. Aku tak kalah terkejut. “Dika ?!”, teriakku hampir tak bersuara. Lelaki berseragam sopir taksi itu mendekatiku, menyibak kerumunan polisi dan perawat yang ingin tahu apa yang terjadi. Aku sesenggukan, tak bisa menahan tangis. Dika memelukku erat. “Taksi itu punyamu ?,tanyaku diantara isak tangis. Kurasakan Dika mengangguk. “Dia.. dia.. anakmu, Dika”, kataku terbata-bata. Dika menghapus air matanya, merenggangkan pelukannya dan menatapku lekat. “Aku mencarimu Marlina, mengapa kau menghilang ?”, Dika mencecarku pertanyaan. “Bapak, suami ibu Marlina ? Anaknya mau diadzankan, pak ?” Tanya perawat membawa anakku yang telah dibersihkan. Dika menerima bayi kami dan menggendongnya. Kulihat dari sudut mataku dia mencium keningnya, kemudian kudengar dia mulai mengadzankan, meng-qomatkan, dan melupakan pertanyaannya padaku. Mungkin suatu saat kami akan membicarakannya lagi. Tapi tidak sekarang. Ya Allah biarlah kami merasakan sejenak kebahagiaan ini, dan biarkan polisi-polisi itu kembali ke tempat tugasnya. Dika, aku bahagia. Bapak, aku ingin pulang, dan memohon maafmu.

 

 

 

19 April 2007: dini hari

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pertemuan ke-7: ETIKA MENANGANI KONFLIK KEPENTINGAN DALAM BISNIS PERBANKAN SYARIAH

  Salam... Dalam pembelajaran ini Mahasiswa diharapkan dapat mengidentifikasi situasi di mana kepentingan berbeda-beda dan bertentangan, kem...