Hingga tengah hari ternyata pekerjaan membongkar sebagian
peti kemas belum selesai. Karena gudang pelabulan yang akan kami sewa sebagai
penampung sementara barang-barang eksport kami baru bisa bebas selepas Zuhur.
Belum lagi dokumen-dokumen eksport harus disesuaikan. Berarti harus urusan lagi
ke BAPEKSTA untuk urusan cukai. Aku teringat Bejo, dan hanya bisa tersenyum
kecut membayangkannya tengah menunggu kedatanganku. Ah, kasihan sekali anak
itu. Aku baru bisa bernafas lega selepas Azar. Barang-barang yang kami bongkar
sudah tertata rapi di gudang. Berarti jika tak ada halangan, baru Subuh esok
hari kami bisa meninggalkan Tanjung Emas, karena harus menunggu beberapa
pengecekan.
Aku bergegas menuju Pasar Johar dengan ojek dari
pelabuhan. Sampai di traficlight
Hotel Metro aku minta berhenti dan berjalan kaki menuju masjid. Kerumunan
orang-orang di depan sebuah toko membuatku terusik. Dua orang pemuda bertato menghalagi langkahku
yang ingin mendekat, dan tanpa berkata sepatah katapun mereka berdua
menghujaniku dengan pukulan. Sudah biasa menghadapi berandalan
kampung macam mereka, aku berkelit & menangkis serangan-serangan mereka.
Salah seorang berhasil ku lumpuhkan dengan gerakan mengunci. Berandalan yang
lain menyerangku dari belakang. Dengan sekali salto aku sudah berada
dihadapannya dangan temannya yang masih ku kunci sebagai tameng badanku.
Terlanjur melancarkan serangan, hantaman yang cukup keras itu menghantam telak
lambung temannya, hingga tak sadarkan diri. Aku melempar berandalan itu ke tepi jalan, dan memasang
kuda-kuda. Sementara semburat warna jingga terlihat di langit sisi barat. Aku
harus segera mengakhirinya. Aku mendekati sebuah tong sampah di trotoar yang
mulai dipenuhi orang-orang yang penasaran. Aku tak mau melukai siapapun
termasuk berandalan itu. Aku berkonsentrasi mengumpulkan segenap tenaga
ditelapak tanganku, dan.. ’Allahu akbar… !!’ ,
seruku. Tong sampah berkeping-keping. Berandalan yang merasa miris itupun lari
tunggang langgang. Aku menyeruak kerumunan orang-orang yang berada di trotoar.
Terdengar suara erangan pilu. “Bejo..!” teriakku tertahan. “Mereka merampokku,
mas..”, kata Bejo terbata-bata. “Aku mencoba mempertahankannya, tapi apalah
dayaku… Me.. me.. mereka memukul tengkukku….”, suara Bejo terbata-bata. Darah
segar mengalir dari hidung dan telinganya. Nafasnya satu dua. Tenggorokanku
kelu. Aku tak bisa berkata-kata. “Mas Aryo, seb..belum terlam..bat, to..long
Is..lamkan a..ku…”, kata Bejo semakin melemah. “Mas, tolong aku, mengangkatnya
ke masjid”, kataku meminta kepada beberapa orang yang berada dalam kerumunan.
Tak hanya satu dua orang yang menolongku. Mereka menyertaiku sampai ke Masjid.
Aku menemui Imam masjid dan menyampaikan maksud Bejo untuk di Islamkan. Kami
yang hadir membuat lingkaran. Bejo yang terbaring, dituntun membaca dua kalimat
syahadat. Meskipun tersendat-sendat karena keadaannya yang semakin parah, tapi
kami yang hadir telah menyaksikan ke-Islaman Bejo. “Mas,, Ar..yo.. aku i..ngin
diku.. bu..rrr.. seba..ggai la..ki-laki..”, pesan terakhir Bejo. Setelah itu
diam. Bejo telah pulang dalam khusnul khatimah.
Inalillahi
wa inna ilaihi raji’un….
Langit merah di ufuk barat kota lama, telah berubah
menjadi kelabu… kemudian pekat.
Oktober 2006, TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar