SENJA MERAH DI KOTA LAMA (2)

 


Kapal membutuhkan bantuan awaknya untuk membongkar sebagian peti kemas. “Oke, Bejo sehabis salat Subuh, aku harus ke Tanjung Emas. Siang nanti aku bawakan buku tuntunan salat, sebelumnya kau pastikan dulu, kau ini mau jadi laki-laki apa perempuan, oke?”, kataku berpesan. Bejo hanya bisa manggut-manggut.

Hingga tengah hari ternyata pekerjaan membongkar sebagian peti kemas belum selesai. Karena gudang pelabulan yang akan kami sewa sebagai penampung sementara barang-barang eksport kami baru bisa bebas selepas Zuhur. Belum lagi dokumen-dokumen eksport harus disesuaikan. Berarti harus urusan lagi ke BAPEKSTA untuk urusan cukai. Aku teringat Bejo, dan hanya bisa tersenyum kecut membayangkannya tengah menunggu kedatanganku. Ah, kasihan sekali anak itu. Aku baru bisa bernafas lega selepas Azar. Barang-barang yang kami bongkar sudah tertata rapi di gudang. Berarti jika tak ada halangan, baru Subuh esok hari kami bisa meninggalkan Tanjung Emas, karena harus menunggu beberapa pengecekan.

Aku bergegas menuju Pasar Johar dengan ojek dari pelabuhan. Sampai di traficlight Hotel Metro aku minta berhenti dan berjalan kaki menuju masjid. Kerumunan orang-orang di depan sebuah toko membuatku terusik.  Dua orang pemuda bertato menghalagi langkahku yang ingin mendekat, dan tanpa berkata sepatah katapun mereka berdua menghujaniku dengan pukulan. Sudah biasa menghadapi berandalan kampung macam mereka, aku berkelit & menangkis serangan-serangan mereka. Salah seorang berhasil ku lumpuhkan dengan gerakan mengunci. Berandalan yang lain menyerangku dari belakang. Dengan sekali salto aku sudah berada dihadapannya dangan temannya yang masih ku kunci sebagai tameng badanku. Terlanjur melancarkan serangan, hantaman yang cukup keras itu menghantam telak lambung temannya, hingga tak sadarkan diri. Aku melempar berandalan itu ke tepi jalan, dan memasang kuda-kuda. Sementara semburat warna jingga terlihat di langit sisi barat. Aku harus segera mengakhirinya. Aku mendekati sebuah tong sampah di trotoar yang mulai dipenuhi orang-orang yang penasaran. Aku tak mau melukai siapapun termasuk berandalan itu. Aku berkonsentrasi mengumpulkan segenap tenaga ditelapak tanganku, dan.. ’Allahu akbar… !!’ , seruku. Tong sampah berkeping-keping. Berandalan yang merasa miris itupun lari tunggang langgang. Aku menyeruak kerumunan orang-orang yang berada di trotoar. Terdengar suara erangan pilu. “Bejo..!” teriakku tertahan. “Mereka merampokku, mas..”, kata Bejo terbata-bata. “Aku mencoba mempertahankannya, tapi apalah dayaku… Me.. me.. mereka memukul tengkukku….”, suara Bejo terbata-bata. Darah segar mengalir dari hidung dan telinganya. Nafasnya satu dua. Tenggorokanku kelu. Aku tak bisa berkata-kata. “Mas Aryo, seb..belum terlam..bat, to..long Is..lamkan a..ku…”, kata Bejo semakin melemah. “Mas, tolong aku, mengangkatnya ke masjid”, kataku meminta kepada beberapa orang yang berada dalam kerumunan. Tak hanya satu dua orang yang menolongku. Mereka menyertaiku sampai ke Masjid. Aku menemui Imam masjid dan menyampaikan maksud Bejo untuk di Islamkan. Kami yang hadir membuat lingkaran. Bejo yang terbaring, dituntun membaca dua kalimat syahadat. Meskipun tersendat-sendat karena keadaannya yang semakin parah, tapi kami yang hadir telah menyaksikan ke-Islaman Bejo. “Mas,, Ar..yo.. aku i..ngin diku.. bu..rrr.. seba..ggai la..ki-laki..”, pesan terakhir Bejo. Setelah itu diam. Bejo telah pulang dalam khusnul khatimah.

Inalillahi wa inna ilaihi raji’un….

Langit merah di ufuk barat kota lama, telah berubah menjadi kelabu… kemudian pekat.

 

Oktober 2006, TAMAT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pertemuan ke-7: ETIKA MENANGANI KONFLIK KEPENTINGAN DALAM BISNIS PERBANKAN SYARIAH

  Salam... Dalam pembelajaran ini Mahasiswa diharapkan dapat mengidentifikasi situasi di mana kepentingan berbeda-beda dan bertentangan, kem...